Ratings12
Average rating4
Pada malam pernikahan putrinya Alia, Salma membaca masa depan Alia melalui ampas di gelas kopi. Dia melihat masa depan yang tidak pasti untuk Alia dan anak-anaknya, namun dia juga melihat perjalanan dan keberuntungan.
Salma memutuskan untuk menyimpannya sendiri. Namun semua ini terlupakan dengan pecahnya perang enam hari di Palestina tahun 1967 dan mereka tercerabut dari Nablus, padahal mereka tadinya pindah ke Nablus dari Jaffa saat Nakba tahun 1948.
Ini cerita mengenai empat generasi orang Palestina, diceritakan dari sudut pandang tokoh yang berbeda di setiap bab. Setiap bab ditulis dengan urutan kronologis yang runut walau berpindah sudut pandang, dari rentang waktu 1967 hingga 2015.
Cerita dimulai dari Salma & suaminya yang terpaksa meninggalkan segala yang mereka punya di Jaffa, menuju Nablus. Nablus tempat anak-anak Salma tumbuh besar, Widad, Alia & Mustafa.
Pecah perang enam hari di tahun 1967, yang membuat Salma pindah ke Amman, Alia menyusul Widad ke kota Kuwait. Disana Alia membesarkan anak-anaknya, Riham, Karam dan Souad.
Tahun 1990, ketika pecah perang Irak-Kuwait, Souad sedang kuliah di Paris, lagi-lagi Alia harus meninggalkan Kuwait ke rumah peninggalan ibunya di Amman.
Cerita berawal dari Jaffa, Palestina namun berfokus pada perjalanan keluarga ini setelah tercerabut dari akar mereka. Mereka terpaksa mencari “rumah” di negara-negara lain (perjalanan mereka dimulai dari Amman, Kuwait, Paris, Boston, Beirut), namun pada akhirnya, mereka merasa tidak menemukan “rumah” dimanapun.
Awalnya menurutku membosankan, cerita berpindah sudut pandang setiap bab. Namun menjelang akhir buku ini membuatku sedih dan terharu, sungguh menyesakkan. Aku merekomendasikan buku ini pada penggemar kisah keluarga, nilai plusnya, keluarga yang berasal dari Palestina.