Prolog Goethe pernah berkata bahwa hidup bukanlah tentang kecepatan, melainkan tentang arah. Suatu hari, aku penasaran: ke mana tujuanku dengan berusaha sekuat ini? Sekeras apa pun aku berpikir, aku tidak tahu ke mana sebenarnya aku melaju. Karena itulah aku berhenti. Begitu saja. Maksudku, aku berhenti bekerja, bukan karena sudah memiliki jawaban pasti atau karena sudah punya jalan keluar. Aku baru sadar setelah menyerahkan surat pengunduran diri. Sebenarnya aku sedikit menyesal, tetapi harga diri melarangku menariknya kembali. Apalagi, Direktur juga berkata dia menghormati keputusanku. Jangan-jangan Direktur menyambut riang pengunduran diriku? Kenapa jadi begini sih? Apa aku memang harus berhenti? Aku sempat berpikir untuk berpura-pura mengalah dan tetap tinggal jika dihalangi. Namun, tak kusangka kemampuan persuasiku sebaik ini. Atau, jangan-jangan mereka sudah menunggu-nunggu aku berhenti? Bagaimana aku bisa melakukan hal semengerikan ini? Semua gara-gara Goethe. Kalau harus mencari alasan lain, ini gara-gara tahun baru yang sebentar lagi tiba. Dua bulan sebelum berusia 40 tahun, hatiku gelisah seperti baru saja tahu tanggal kematianku. Empat puluh. Tak kusangka aku bisa berusia 40 tahun. Aku sudah 40 tahun. Sejak kapan waktu berlalu begitu cepat, padahal aku belum melakukan apa-apa? Usia 40 tahun juga disebut bulhok yang berarti keteguhan, dan seharusnya orang sudah tak tergoyahkan lagi di hadapan masalah duniawi. Aku tidak tahu siapa pencetusnya, tapi lihatlah aku! Aku sangat goyah! Aku yang goyah akhirnya memberikan surat pengunduran diri yang tadinya masih kugenggam erat. Itu pun kutaruh begitu saja di meja Direktur. Sinopsis Katanya, aku harus bekerja keras supaya bisa masuk ke universitas bagus, mendapat pekerjaan bagus, bertemu orang dengan bibit-bebet-bobot yang bagus, menikah, lalu punya anak. Kemudian, di usia tertentu aku harus sudah memiliki rumah, mobil, asuransi, investasi, juga tabungan untuk pensiun. Aku sudah hidup sesuai dengan aturan itu. Aku bertahan, berusaha, dan hidup sekuat tenaga untuk mencapai semua target itu. Suatu hari aku penasaran, memangnya aku mau ke mana dengan bekerja sekeras ini? Apakah jalan hidupku sudah benar? Aku semakin resah. Akhirnya, aku memutuskan untuk bereksperimen. Bagaimana kalau sekali saja aku 'hidup tanpa bekerja keras'? Bagaimana kalau aku tidak mengejar target-target itu? Aku tahu, mengatakan ingin hidup tanpa bekerja keras di tengah dunia yang penuh dengan pekerja keras itu konyol. Jadi, inilah eksperimen hidupku. Tahun Terbit: Cetakan Pertama, April 2023
Reviews with the most likes.
There are no reviews for this book. Add yours and it'll show up right here!