Kare Kano
Kare Kano
Ratings1
Average rating4
Ini ulasan untuk keseluruhan manga Kare Kano.
Souichiro dan Yukino adalah anak kelas 1 SMA dengan ego yang tinggi, gengsi yang tinggi, dan didukung dengan prestasi yang cemerlang pula. Namun, setelah keduanya pacaran, ternyata mereka dihadapkan pada tantangan yang baru: merobohkan dinding perasaan masing-masing dan berani membuka diri kepada satu sama lain. Dalam proses berbagi rasa itulah terungkap sisi-sisi kehidupan mereka yang panjang dan tertaut pada orang-orang di seputar hidup mereka.
“Semua keluarga bahagia itu sama saja; keluarga-keluarga yang tidak bahagia punya ketidakbahagiaannya masing-masing.” Demikian kalimat pembuka novel [b:Anna Karenina|15823480|Anna Karenina|Leo Tolstoy|https://i.gr-assets.com/images/S/compressed.photo.goodreads.com/books/1601352433l/15823480.SX50.jpg|2507928] karya Leo Tolstoy. Ungkapan yang sama bisa juga dipakai untuk Kare Kano ini. Karakter-karakternya punya situasi rumah tangga yang berbeda satu sama lain. Ada Yukino yang keluargaya baik-baik saja. Ada Arima dengan yang dibesarkan orang tua asuh dan tak jelas nasib orang tua kandungnya. Ada juga teman-teman mereka dengan situasi yang unik dan masalah yang berbeda-beda, baik dengan keluarga maupun antara sesama mereka sendiri.
Dalam Kare Kano, aku melihat konflik dan kerumitan dalam hubungan manusia ini sebagai cerminan persoalan yang aku temui dan alami sehari-hari. Tidak mudah menuntaskan perasaan yang mengganjal, yang sudah tertimbun bertahun-tahun lamanya. Bahkan, sisi-sisi buruk yang kita punya sekarang muncul sebagai turunan dari masalah orang tua kita, kakek-nenek kita, bahkan generasi sebelumnya lagi. Inilah yang namanya trauma antar generasi (intergenerational trauma). Masami Tsuda menjadikan trauma turun-temurun ini sebagai masalah yang ia ingin selesaikan dalam ceritanya di Kare Kano.
Lalu, apa jawaban Kare Kano soal hubungan antar manusia yang rumit, traumatik, dan seringkali berujung luka ini?
Menurutku, pertama, ia punya pesan bahwa trauma adalah hal yang manusiawi. Rasanya, jarang sekali ada orang yang tidak pernah mengalaminya. Adapun orang yang merasa tidak punya trauma, justru mungkin ialah yang paling pandai menyembunyikannya. Maka, hal yang terpenting buat kita sebagai makhluk yang tak sempurna adalah mengakui kelemahan itu, serta bersedia menunjukkan luka dan trauma kita kepada orang-orang yang kita percaya.
Kedua, luka yang kita alami bisa membuat kita takut dan akhirnya jadi melukai orang lain, bahkan orang yang paling kita kasihi. Ini sering disebut dengan istilah dilema landak (yang banyak diulas di anime Neon Genesis Evangelion). Kita pun harus mengakui luka yang kita torehkan pada orang di sekitar kita, baik secara sadar maupun tidak.
Ketiga, hidup dengan rasa sakit, luka, dan trauma tak menjadikan kita orang yang tak layak punya masa depan. Bukan pula artinya kita tak punya alasan untuk berharap pada kehidupan yang lebih cerah dan gembira. Satu-satunya cara untuk bangkit dari kekelaman itu adalah memaklumi diri kita sendiri, membenahi kekurangan-kekurangan kita secara sadar, sambil terus berusaha yang terbaik di saat ini dan di masa depan.
Itulah kesan-kesan yang aku tangkap setelah menamatkan 21 volume Kare Kano. Mayoritas cerita berkisar pada kehidupan Yukino, Souichiro, dan kawan-kawannya saat SMA. Namun, makin lama makin banyak kilas balik yang bisa sampai membahas 2-3 generasi yang hidupnya puluhan sebelum mereka. Manga ini diakhiri dengan kilas depan 16 tahun setelah mereka lulus sekolah. Sementara itu, Masami Tsuda merilis cerita ini dalam waktu 9 tahun, dari 1996 sampai 2005.
Dalam 9 tahun itu terlihat perubahan gaya dan cara gambar sang mangaka dari yang awalnya cukup kasar di volume-volume awal hingga lebih terpoles di bagian-bagian akhirnya. Desain karakter juga sepertinya bukan kekuatan Tsuda-sensei, karena sepanjang aku membaca seringkali aku tertukar atau kesulitan mengingat beberapa karakter yang potongan wajah, rambut, atau tubuhnya mirip-mirip.